Kamis, 06 Februari 2014

Masih Kecil Udah Keluyuran

Duit yang minim membuat kami kepanasan di Borobudur. Rasa lapar pun ditahan dulu.

Waktu itu kami masih kelas 2 SMP. Belum ada setahun kami bisa mengendarai sepeda motor, kami sudah berani sampai kota tetangga yang jaraknya lumayan jauh. Saya pergi bersama Afiq, Yuli, dan Andi. Menggunakan dua sepeda motor, belum ada SIM semua. Jelas saja orang tua saya kawatir sekali ketika pulang dan menceritakan kalau baru saja kami jalan-jalan ke Borobudur. Belum punya SIM, ditambah lagi belum begitu mahir mengenderai sepeda motor, tapi sudah berani nekat. Untung tidak ada polisi yang mencegat ditengah jalan, padahal di Magelang terkenal sering ada razia kendaraan bermotor.


Empat orang dari kami belum ada yang pernah ke Candi Borobudur. Karena sudah nekat ingin sekali mengunjungi tempat wisata yang pernah sempat menjadi tujuh keajaiban dunia, terpaksa mau tidak mau kami harus sampai ke tujuan. Kami hanya melihat petunjuk jalan yang ada pinggir jalan. Setiap ada petunjuk kearah Candi Borobudur kami selalu ikuti. Bisa baca petunjuk, bisa tanya orang juga, dan juga masih di kota sebelah masak tidak ketemu.

Disebuah persimpangan di kota Magelang kami sempat terpencar. Saya belok kekiri karena sebelumnya melihat plang yang menunjukkan Borobudur ke arah kiri. Sementara Afiq dan Andi malah lurus mengikuti jalan. Mereka putar balik dan menghampiri kami.

Akhirnya kami sampai juga di pintu masuk Candi Borobudur. Sebelum masuk kami melihat seperti pasar tradisional dan ada beberapa delman yang ngetem menunggu penumpang. Biaya parkir motor waktu itu masih dua ribu rupiah. Tapi sialnya, tiket masuk ke dalam Candi 30.000 rupiah. Kami masing-masing hanya membawa duit sekitar 50.000. Sudah kepotong 10.000 buat membeli bensin. Anak SMP yang tidak punya duit, tidak punya SIM dan tidak tahu lokasi berani nekat keluyuran.

Bayak penjual yang menawari kami. Ada kacamata yang katanya supaya mata kami tidak silau, penjual topi, penjual alat pijat punggung sampai alat untuk menggaruk bagian tubuh yang gatal. Kami juga tidak bisa menyewa payung. Padahal ketika mau naik ke Candi waktu menunjukkan pukul 11. Duit yang minim membuat kami kepanasan di Borobudur. Rasa lapar pun ditahan dulu.

Walaupun perut keroncongan dan kulit terbakar oleh sinar matahari, kami tetap melanjutkan aksi kami untuk tetap naik ke Borobudur. Saya menghitung jumlah tangga dari paling bawah. Tapi baru sampai seperempat saya sudah lupa hitungannya. Saya kaget ketika melihat ada bule cowok yang tingginya hampir dua meter berpasangan dengan cewek yang tingginya sejajar dengan perut si cowok. Kalau mau ciuman gimana ya, masak si cowok harus membungkuk dulu. Hiihii

Sampai di puncak Candi Borobudur keringat kami bercucuran. Serasa mandi keringat dan kulit menjadi gosong. Saya berjalan kesana kemari menikmati pemandangan yang sangat indah. Saya melihat taman yang pernah saya kunjungi sebelumnya, waktu itu saya mewakili SD lomba Pesta Siaga se-Kedu.
Terlihat orang bermuka jepang sedang duduk manis membaca komik berbahasa jepang. Alamak, dasar orang jepang. Wisata bukannya menikmati pemandangan atau bersenang-senang malah membaca komik. Tahan juga orang itu baca komik sambil panasan. Kalau saya si ogah.

Kami sudah sangat lelah, dan kulit kami rasanya sudah matang. Dengan sisa-sisa tenaga yang masih tersedia kami menuruni Candi. Cacing-cacing di perut benar-benar sudah demo besar. Tapi apa daya. Tidak ada lagi duit yang tersisa. Terpaksa menahan rasa lapar sampai rumah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar